Kamis, 27 Agustus 2015

Pebisnis Cokelat

Judulnya gak nyambung. Maaf ya. Pernah dipublikasikan juga di tumblr (kebiasaan nulis di tumblr sih haha)



Sekitar 8 tahun yang lalu, pas lagi kumpul keluarga di rumah nenek aku dalam rangka idul fitri, sepupuku datang dari Jakarta. Berhubung Ibuku 12 bersaudara (yang seibu-seayah. Jangan tanya yang seayah aja, bakalan kaget XD) dan Mamah anak ke-10, maka wajarlah dari 8 tahun yang lalu beberapa sepupuku udah nikah dan punya anak. Sepupuku yang datang ini anak pertama dari kakak pertama Ibuku, anaknya yang pertama juga cuma empat tahun lebih muda dari aku.

Anaknya yang kedua, yang waktu itu berarti umurnya sekitar 6 tahunan, dengan semangat memasuki rumah nenekku dan berseru ke semua orang, “HEI AKU PUNYA BISNIS LOOOH!”

Semua yang mendengarnya tertawa dan tersenyum, termasuk aku. Bisnis macam apa yang bisa dilakukan seorang bocah baru masuk SD? Aku dan beberapa sepupuku mulai nanya-nanyain, “Bisnis apa?”

Dengan bangga Ia mengacungkan plastik bening berukuran cukup besar yang berisi banyak cokelat. “Bisnis Cokelat!” katanya bersemangat.

“Berapa harganya?” tanyaku penasaran.

Dia terdiam. Menatapiku dan sepupuku yang lain dengan muka heran. “Enggak tahu.” Polos sekali dia berkata.

Coba bayangkan, seorang anak kecil berumur 6 tahun yang menjual cokelat dan sekumpulan anak remaja yang berumur 12-16 tahun yang suka cokelat, apa yang terjadi? Penipuan massal.

Dengan malu aku berkata bahwa aku ikut menipu. Dengan rasa bersalah. Beneran kok aku merasa bersalah. Tapi gara-gara yang lain nipu—

Cokelat yang dia jual (atau dalam bahasanya, “dibisniskan”) tipe-tipe cokelat yang harganya lima ratusan (kalo sekarang mungkin seribu). Kecil, tapi kayaknya dari merk berkelas jadi kupikir sekitar 500 rupiah.

Aku nipu, iya, aku kasih seribu dan ambil tiga cokelat. Gak terlalu parah kan? Tapi tetep aja nipu. Dasar bandel aku, jangan diulang ya Dlin. Yang baca juga jangan dicontoh. Jangan jadikan curhatan ini sebagai alasan perusak moral anak bangsa T_T

Setelah kumakan ketiganya, aku melihat sepupu-sepupuku pada ngumpul di halaman belakang. Tanpa pikir panjang aku ke sana, ngeliat kakakku, berjalan ke dalam dengan tangan penuh cokelat. Kaget, aku berkata, “Loh?”

Kakakku ketawa-ketawa sambil nunjuk ke arah “pebisnis cokelat” yang lagi kerepotan ngelayanin penjualnya. Aku nanya kakakku bayar berapa dan dengan santai dia bilang bayar seribu dapat delapan.

Ini masa lalu ya. Masa lalu. Masa lalu.

Sesampainya aku di sana, ternyata emang banyak yang nipunya “ekstrem” banget. Ada yang beli seribu dapet sepuluh, dapet sekian, sekian. Aku dengan perasaan bersalah (tapi da pengen cokelat juga) beli seribu ambil delapan. Tapi aku kurang beruntung (beruntung sih sebenernya) sebelum aku sempet makan cokelatnya, sepupuku sekaligus ibu dari pebisnis cokelat ini mengetahui kebenaran bisnis anaknya /halah/ dan ngejerit pelan pas liat anaknya ditipu abis-abisan oleh belasan remaja. Dia maksa kami ngembaliin cokelat yang kelebihan sekaligus negur anaknya juga, “Kamu tuh, cokelat kayak gini harusnya lima ratus satu!”

Setelah ibunya pergi, kita langsung nyerbu lagi dan dia udah gamau nerima tawaran. Bahkan aku minta seribu tiga juga ditolak haha. Akhirnya perhatianku dan yang lain teralihkan oleh hal-hal lain, tapi tetep ada beberapa yang gak teralihkan, malah pas “pebisnis cokelat” ini lagi lengah beberapa sepupuku ngambil plastiknya dan ngabisin diem-diem di kamar terkunci, pebisnis cokelat ini panik sambil teriak-teriak “Oh tidak! Bisnisku hancuuuuuuur!”

Masih keinget aja ceritanya. Padahal udah lama banget.

Lucunya, dan hebatnya, pas idul fitri kemaren, kami sekeluarga kumpul lagi–walaupun bukan di rumah nenek. Aku dan beberapa sodara ngobrol-ngobrol sama ibu sang pebisnis (yang sekarang udah SMP akhir). Iseng kutanya, “Dia masih suka bisnis enggak?” (sengaja gak kutulis namanya karena aku gak tau dia mau dipublikasikan atau enggak namanya, hehe.)

Jawaban ibunya mengejutkanku. “Oh iya, masih!” katanya. “Sekarang dia jualan ke temen-temennya di sekolah.” Tapi sekarang dia gak jualan cokelat lagi, dia jualan barang2 keperluan sehari-hari kayak sabun dan sampo.

Dari dulu, setiap aku inget anak itu jualan cokelat, aku tahu dia punya bakat bisnis. Maksudnya, anak umur enam tahun pengen menjual cokelat yang diberikan ibunya? (Kata ibunya, ibunya sama sekali enggak nyuruh jualan, dia inisiatif sendiri.) Kurasa kebanyakan anak seumurannya bakal lebih milih ngabisin cokelat itu. Ditambah dengan saat ini dia jualan barang-barang ke temen-temennya. Secara gak langsung aku ngerasa terinspirasi (kata siapa inspirasi cuma bisa didapat dari orang yang udah sukses?). Banyak yang ngetawain dia pas bisnis cokelat, dia ditipu abis-abisan, tapi dia gak nyerah tuh. Temen-temennya juga banyak yang ngandelin dia supaya bisa dapet sampo yang bagus.

Maksud yang ingin kusampaikan, kalo dari kecil udah keliatan passion dan bakatnya di mana, jangan ragu untuk diteruskan dan jangan takut kalo ada yang ngeremehin. Pernah denger, kalo kamu bingung sekarang cita-citamu apa, inget-inget lagi waktu TK cita-citamu apa.

Semoga bermanfaat

Wassalamu’alaikum